BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN MANAJEMEN KONSTRUKSI
PADA ILUSTRASI
KASUS
3.1
Ilustrasi Kasus
Berikut ini, akan ditampilkan sebuah ilustrasi mengenai
masalah yang terjadi dalam sebuah proses pengerjaan proyek konstruksi gedung
bertingkat tinggi. Ilustrasi kasus ini selanjutnya akan dianalisis dari
berbagai hal yang mempengaruhi keseluruhan kasus tersebut.
Sebuah perusahaan kontraktor mendapatkan kontrak untuk
proyek gedung bertingkat tinggi yang harus selesai dalam waktu 500 hari
kalender. Dalam kontrak menyebutkan bahwa jika kontraktor tidak menyelesaikan
pekerjaan sesuai jadwal pekerjaan yang sudah disepakati baik karena:
1.
Kelalaian dari owner
atau perencana atau pekerja atau kontraktor atau sub kontraktor
2.
Perubahan yang
diminta pada saat pelaksanaan
3.
Perselisihan
4.
Pengiriman material
atau alat yang terlambat
5.
Dan
kejadian-kejadian yang lain yang berada dibawah tanggung jawab kontraktor
Kontraktor harus memberikan pemberitahuan secara tertulis
kepada perencana tidak lebih dari 10 hari setelah kejadian yang mengakibatkan
keterlambatan jadwal pekerjaan.
Pada hari ke 300, berdasarkan penjadwalan kurva s
harusnya sudah bisa diselesaikan 67,5%, tapi kontraktor baru bisa menyelesaikan
pekerjaan sebesar 20% saja. Hal ini disebabkan karena beberapa macam kejadian
yaitu:
1.
Sebuah kebakaran
terjadi dan kontraktor tidak menginformasikan hal ini kepada owner.
Sedangkan perencana segera ke lapangan setelah kejadian kebakaran dan
menginformasikan kepada owner. Sub kontraktor pengecatan memberikan
pernyataan bahwa sub kontraktor elektrikal yang mengakibatkan kebakaran yaitu
konsleting yang terjadi menimbulkan percikan api dan menyambar tiner cat
sehingga timbul kebakaran sedangkan sub kontraktor elektrikal memberikan
pernyataan bahwa sub kontraktor pengecatanlah yang mengakibatkan kebakaran
yaitu tiner cat jatuh dan mengenai kabel sehingga terjadi konsleting dan
terbakar.
2.
Operator Backhoe
mengetahui bahwa alat berat backhoe harusnya diperbaiki, tetapi bakhoe
tetap digunakan, suatu saat shovel dari backhoe terlepas dan
harus diperbaiki. Ternyata sparepart harus didatangkan dari luar kota.
3.
Konflik antara
Kontraktor dan Manajemen Konstruksi
4.
Masalah hukum
sebelum owner menandatangani kontrak yaitu adanya kasus penyuapan
terhadap komite pelelangan pada saat pelelangan terjadi
3.2
Analisis Proses Pelelangan
Permasalahan yang ditampilkan dalam ilustrasi merupakan
permasalahan yang sangat kompleks. Kompleksitas permasalahan yang muncul
terlihat pada berbagai kecurangan yang terjadi dan ketidakharmonisan di dalam
manajemen konstruksi itu sendiri. Salah satu persoalan yang ditampilkan pada
ilustrasi kasus tersebut adalah ‘proses pelelangan’.
Adanya kejanggalan proses pelelangan yang terjadi
terlihat pada kutipan ilustrasi tersebut, yaitu:
“Masalah hukum sebelum owner menandatangani kontrak yaitu adanya kasus penyuapan
terhadap komite pelelangan pada saat pelelangan terjadi”
Kutipan tersebut secara tersurat menggambarkan
permasalahan yang urgen pada tahapan pelelangan proyek. Dalam ilustrasi,
permasalahan pelelangan dimunculkan pada akhir dari keseluruhan ilustrasi. Di
sini, penulis ingin menganalisis permasalahan pelelangan dalam dua kategori:
1.
Kejanggalan
Pelelangan sebagai permasalahan utama
Permasalahan
pelelangan dalam ilustrasi kasus tersebut merupakan persoalan awal yang
memunculkan persoalan-persoalan selanjutnya dalam menjalankan proyek
konstruksi. Di sini, penulis melihat kasus pelelangan sebagai induk yang
menghadirkan kasus-kasus sesudahnya. Pendapat ini diperkuat oleh kedudukan
‘proses pelelangan’ sebagai aktivitas awal sebelum sebuah proyek dijalankan.
Selain itu, munculnya permasalahan pelelangan pada ilustrasi yang ditempatkan
pada kalimat terakhir menunjukkan ‘tampilan ilustrasi’ yang mengikuti time line
proses pelaksanaan proyek. Alur yang ditampilkan pada ilustrasi kasus
menggunakan alur mundur. Jadi, penulis menyimpulkan bahwa persoalan pelelangan
pada ilustrasi merupakan persoalan utama dan menjadi awal terhadap
persoalan-persoalan yang muncul setelahnya.
2.
Kejanggalan
pelelangan sebagai pelanggaran hukum
Kegiatan pelelangan merupakan implementasi dari peraturan
hukum yang telah ditetapkan. Di Indonesia, aktivitas pelelangan secara
berkelanjutan diatur dalam produk-produk hukum yang telah ditetapkan. Dari
tahun ke tahun, produk hukum di Indonesia tentang proses pelelangan mengalami
penyempurnaan, yaitu Keppres No. 14 A Tahun 1980, tanggal 14 April 1980
disempurnakan menjadi Keppres No. 18 Tahun 1981, tangal 5 Mei 1981. Tahun
anggaran 1984/1985 telah dikeluarkan Keppres No.29 Tahun 1984, tanggal 21 April
1984 sebagai pengganti Keppres No. 14 A Tahun 1980 dan Keppres No. 18 Tahun
1981. Kemudian disempurnakan kembali dengan dikeluarkannya Keppres No. 16 Tahun
1994 dilanjutkan KeppresNo. 6 Tahun 1999 dan terakhir Keppres No. 18 Tahun
2000. Dengan demikian peraturan yang
saat ini berlaku adalah Keppres No. 18 Tahun 2000.
Dalam ilustrasi kasus yang ditampilkan, masalah
pelelangan merupakan masalah hukum. Hal ini secara tersurat disampaikan dalam
kutipan. Permasalahan pelelangan yang terdapat pada ilustrasi kasus
dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran yang fatal. Pernyataan tersebut
didasari pada realitas pelanggaran yang dilakukan sebagai bentuk pengabaian
terhadap asas-asas dan tata cara pelelangan itu sendiri. Pelelangan
didefinisikan sebagai kegiatan untuk menjaring pemberi jasa konstruksi untuk
mendapatkan jasa konstruksi yang terbaik. Permasalahan pelelangan yang
ditampilkan dalam ilustrasi merupakan sebuah pengabaian terhadap batasan
tentang pelelangan. Proses pelelangan yang seyogyanya bertujuan untuk
mendapatkan penyedia jasa konstruksi yang terbaik pada akhirnya tidak
terlaksana, karena terjadinya kasus penyuapan dalam tahapan pelelangan.
Lebih lanjut, Keppres No. 18 tahun 2000 memberi batasan
pelelangan sebagai serangkaian kegiatan untuk menyediakan barang dan jasa
dengan menciptakan persaingan yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang
setara dan memenuhi syarat, berdasarkan metode dan tata cara tertentu yang
telah ditetapkan dan diikuti oleh pihak-pihak yang terkait secara taat asas
sehingga terpilih sebagai penyedia terbaik.. Kasus pelelangan yang ditampilkan
pada ilustrasi merupakan bentuk pengabaian terhadap persaingan sehat yang telah
diamanahkan oleh Keppres. Dengan demikian, penyuapan yang dilakukan menciptakan
ketidaksetaraan hak dan kewajiban dari para penyedia jasa konstruksi yang
terlibat dalam proses pelelangan. Selanjutnya pun dapat ditebak, metode dan
tata cara yang telah ditetapkan dalam tahapan pelelangan hanyalah retorika; dan
tujuan dari pelelangan sebagai kegiatan untuk memperoleh penyedia jasa terbaik
tidak tercapai.
3.3
Analisis Kontrak
Kontrak konstruksi merupakan tahapan selanjutnya setelah
proses pelelangan. Kontrak konstruksi
mempunyai kekuatan hukum yang memuat persetujuan bersama secara sukarela antara
pihak ke satu dan pihak ke dua. Dengan demikian, kontrak konstruksi dapat
dikatakan sebagai dokumen yang menjadi acuan bertindak dari pihak pemilik dan
penyedia jasa konstruksi.
Ilustrasi kasus menampilkan beberapa point tentang isi
kontrak. Klausul-klausul kontrak yang ditampilkan adalah sebagai berikut:
1.
Kelalaian dari owner
atau perencana atau pekerja atau kontraktor atau sub kontraktor
2.
Perubahan yang diminta pada saat pelaksanaan
3.
Perselisihan
4.
Pengiriman material atau alat yang terlambat
5.
Dan kejadian-kejadian yang lain yang berada dibawah
tanggung jawab kontraktor
Kontraktor harus memberikan pemberitahuan secara tertulis
kepada perencana tidak lebih dari 10 hari setelah kejadian yang mengakibatkan
keterlambatan jadwal pekerjaan
Berdasarkan klausula-klausula kontrak tersebut, penulis
menilai bahwa kurang terjadi keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban antara ke
dua pihak yang terlibat dalam kontrak. Isi kontrak yang telah disepakati secara
umum dimaksudkan agar terjalin kesepahaman antara pemilik dan kontrakor apabila
terjadi perubahan di lapangan. Kesepahaman yang terjadi idealnya memberikan keuntungan, dimana segala kejadian
yang terjadi diluar rencana dapat segera diantisipasi oleh ke dua belah pihak.
Penulis akan menganalisis kandungan kontrak yang ditampilkan dalam beberapa
hal:
1.
Pasal
yang melindungi pemilik terhadap kemungkintan tidak tercapainya sasaran proyek
Pada ilustrasi
yang ditampilkan, pasal-pasal tersebut secara tersirat melindungi pemilik
terhadap berbagai kemungkinan perubahan dan kejadian-kejadian di luar yang
direncanakan. Menurut penulis, pasal-pasal dalam kategori ini mendapat porsi
yang lebih besar. Oleh karena pasal-pasal kontrak tidak semuanya ditampilkan
dalam ilustrasi, maka penulis tidak dapat menilai terjadinya ketidakadilan
dalam kontrak antara satu pihak dan pihak lain, mengingat pasal yang
ditampilkan dalam ilustrasi hampir semuanya menguntungkan owner dan perencana.
2.
Pasal
yang memperhatikan kewajiban kontraktor
Pasal-pasal
yang memperhatikan hak-hak kontraktor tidak ditampilkan dalam ilustrasi. Di sini, ilustrasi kasus
hanya menampilkan kewajiban yang harus dilakukan kontraktor. Kontraktor dalam
tampilan ilustrasi hanya ditujukan pada kewajibannya untuk melakukan pelaporan
apabila terjadi kejadian diluar rencana yang ditetapkan. Penulis juga tidak
menilai terjadinya ketidakadilan kontrak, karena tidak semua klausula kontrak
ditampilkan dalam ilustrasi.
Terlepas dari dua hal tersebut, penulis melihat bahwa isi
kontrak yang ditampilkan sebenarnya merupakan acuan utama dalam menganalisis
setiap pelanggaran yang ditampilkan dalam ilustrasi. Dengan demikian, kontrak
konstruksi pada secara ideal adalah benar pada treknya dan penting untuk
dijalankan. Sedangkan, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada ilustrasi
merupakan bentuk pengabaian terhadap kontrak kerja. Analisis berkaitan
pelanggaran-pelanggaran tersebut akan disajikan pada sub-sub topik selanjutnya
sesuai kategori pelanggaran.
3.4
Analisis Penjadwalan Proyek
Penjadwalan proyek merupakan faktor penting bagi
keberlangsungan pelaksanaan proyek. Ilustrasi kasus menampilkan secara tersurat
perihal penjadwalan proyek. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan ilustrasi
berikut:
”…proyek gedung bertingkat tinggi yang harus selesai
dalam waktu 500 hari kalender.”
Dalam setiap jenis proyek, penjadwalan pelaksanaan proyek
merupakan salah satu fungsi pengawasan. Hal ini penting, agar pengendalian
terhadap variabel mutu, biaya, dan waktu dapat berjalan dengan lancar.
Penjadwalan proyek sebenarnya bukanlah hal yang mutlak dilakukan dalam
pelaksanaan proyek, karena tidak sepenuhnya kejadian di lapangan dapat
dikendalikan oleh manusia. Faktor-faktor lain di luar perkiraan manusia selalu
muncul dalam proses pelaksaan proyek konstruksi. Oleh karena itu, sistem
penjadwalan proyek merupakan landasan umum dan acuan dasar terhadap progress
pekerjaaan di lapangan.
Dalam ilustrasi, diketahui bahwa metode yang digunakan
dalam penjadwalan proyek adalah metode kurva s. Hal tersebut dapat diketahui
dari kutipan berikut:
“Pada hari ke 300, berdasarkan penjadwalan kurva s…”
Kurva S menunjukkan kemajuan proyek berdasarkan kegiatan,
waktu, dan bobot pekerjaan yang dipresentasekan sebagai persentase kumulatif
dari seluruh kegiatan proyek. Dengan demikian, kurva s sebenarnya merupakan
acuan untuk mengendalikan tiga variabel dalam manajemen konstruksi, yaitu mutu,
waktu, dan biaya.
Selanjutnya, dalam ilustrasi ditampilkan permasalahan
mengenai ketidaksesuaian antara perencanaan penjadwalan pelaksanaan proyek
dengan hasil pelaksanaan di lapangan. Hal tersebut diperkuat oleh kutipan
berikut ini:
”Pada hari ke
300, berdasarkan penjadwalan kurva s harusnya sudah bisa diselesaikan 67,5%,
tapi kontraktor baru bisa menyelesaikan pekerjaan sebesar 20% saja.”
Kutipan tersebut menggambarkan sebuah permasalahan yang
penting untuk dikaji lebih lanjut, agar dapat dilakukan koreksi dan
pengendalian terhadap berbagai keterlambatan di lapangan. Identifikasi
keterlambatan yang ditampilakan dalam ilustrasi kasus tersebut merupakan fungsi
dari metode kurva s. Di sini, visualisasi kurva s dapat memberikan informasi
mengenai kemajuan proyek dengan membandingkannya terhadap jadwal rencana.
Dari ilustrasi tersebut, diketahui bahwa berdasarkan
jadwal rencana pada kurva s, pada hari ke 300 kalender kerja, pekerjaan
diselesaikan 67,5 %. Hal tersebut sangat berbeda jauh dengan kenyataan di
lapangan. Pekerjaan di lapangan hanya terselesaikan 20% sampai hari ke 300
kalender kerja. Data-data tersebut menunjukkan terjadinya keterlambatan
pelaksanaan proyek. Perihal penyebab terjadinya keterlambatan pelaksanaan
proyek diakibatkan oleh berbagai kejadian di luar perkiraan manusia. Hal ini
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
3.5
Analisis Organisasi Proyek
Organisasi
proyek memungkinkan terjadinya suatu pola hubungan antara pengelola proyek.Hal
demikian sangat penting, agar terjalin komunikasi yang baik dan pembagian tugas
di antara pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi. Untuk itu, organisasi
proyek sangat diperlukan dalam menjalankan suatu proyek tertentu.
Ilustrasi
kasus menampilkan secara tersirat perihal keberadaan organisasi dalam mengelola
pelaksanaan proyek. Dalam ilustrasi, tidak dijelaskan secara detail perihal
pembentukan, sehingga penulis tidak dapat mengidentifikasikan metode
pembentukan organisasi proyek, apakah oleh pemilik proyek, konsultan, atau
kontraktor. Pada umumnya, pemilik proyek
memilih bentuk organisasi yang tepat untuk mengelola proyek.
Dalam
suatu organisasi proyek, hubungan antara satu pihak dengan pihak lain dalam
satu bagan organisasi perlu diidentifikasi, agar tidak terjadi tumpang tindih
dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas di lapangan. Dalam ilustrasi
yang ditampilkan, hubungan antara satu pihak dengan pihak lain akan
diidentifikasi pada duah jenis hubungan kerja, yaitu:
1.
Hubungan
fungsional
Hubungan fungsional merupakan hubungan sesuai fungsi
masing-masing pihak. Hubungan fungsional dalam ilustrasi kasus tidak dijelaskan
secara eksplisit, akan tetapi pola hubungan fungsional yang terjalin dapat
dianalisis dengan mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam pekerjaan proyek
konstruksi. Hubungan fungsional yang terjalin dalam ilustrasi kasus menempatkan
beberapa pihak, yaitu owner, konsultan perencana, kontraktor, sub kontraktor,
dan operator backhoe. Owner sebagai pemilik proyek mempunyai fungsi memberikan
pekerjaan kepada pihak penyedia jasa. Konsultan perencana melaksanakan
pekerjaan merencanakan proyek sebelum dikerjakan oleh kontraktor. Kontraktor
merupakan pihak yang melaksanakan pekerjaan di lapangan. Sub kontraktor
membantu kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan sesuai bidang-bidang yang
digeluti. Operator backhoe merupakan pekerja atau eksekutor lapangan. Pihak-pihak
yang disebutkan di atas merupakan pihak yang mewakili suatu proses hubungan
fungsional yang sebenarnya sangat kompleks dalam suatu pola interaksi
organisasi. Pihak-pihak yang disebutkan merupakan gambaran hasil identifikasi
yang ditampilkan dalam ilustrasi kasus.
2.
Hubungan
kontrak
Dalam ilustrasi kasus, pola hubungan kontrak secara
tersurat ditampilkan. Hal tersebut dapat diketahui dari butir-butir perjanjian
dalam ilustrasi kasus, dimana dua pihak yang terlibat dalam hubungan kontrak
tersebut adalah owner dan kontraktor. Pihak owner dan kontraktor melaksanakan
suatu hubungan kontrak yang dikukuhkan dalam setiap butir perjanjian yang telah
ditetapkan.
Dalam perihal jenis organisasi yang diterapkan pada
ilustrasi, dapat diidentifikasi jenis organisasi. Secara tersirat, organisasi
yang diterapkan adalah organisasi yang menggunakan manajemen konstruksi. Hal
tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit dalam ilustrasi, tetapi adanya
penyebutan “manajemen konstruksi” mengantarkan penulis pada sebuah kesimpulan
bahwa organisasi proyek yang diterapkan merupakan bentuk organisasi yang
menggunakan manajemen konstruksi.
Berikut
ini merupakan ilustrasi hubungan antara masing-masing pihak, dengan melihat
jenis organisasi yang diterapkan pada ilustrasi
|
Pemilik
|
|
Manajemen
Konstruksi
|
|
Kontraktor
|
|
Konsultan
|
Keterangan:
Hubungan
kontrak
Hubungan
fungsional
3.6
Analisis Manajemen Komunikasi
Komunikasi dalam proyek konstruksi memberikan urgensitas
terhadap kelangsungan pelaksanaan proyek. Komunikasi menempatkan semua pihak
yang terlibat dalam proyek pada posisi yang seimbang/sesuai dengan fungsi
masing-masing. Masalah yang terjadi dalam sistem komunikasi dalam proyek
konstruksi memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap proyek yang
dijalankan.
Dalam ilustrasi kasus, terdapat dua hal utama terkait
manajemen komunikasi. Pertama, komunikasi sebagai sebuah sistem telah disahkan
pada perjanjian kontrak. Di sini, manajemen komunikasi telah diatur sedemikian
rupa, sehingga menciptakan kesepahaman antara pihak-pihak yang terlibat. Kedua,
permasalahan manajemen komunikasi menjadikan proyek yang dilaksanakan mengalami
keterlambatan.
1.
Komunikasi
sebagai sebuah sistem
Suatu sistem mengindikasikan terjadinya sebuah pola yang
tetap dan menjadi acuan terhadap segala bentuk tindakan/pelaksanaan. Dalam
konteks sistem komunikasi yang ditampilkan pada ilustrasi kasus, penulis ingin
membaginya dalam dua hal:
a.
Perencanaan
komunikasi
Dalam perencanaan komunikasi, segala kebutuhan komunikasi
dan informasi diantara stakeholder dirancang. Dalam konteks ilustrasi kasus,
pendefinisian perencanaan komunikasi ditetapkan pada suatu perjanjian kontrak.
Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan ilustrasi berikut:
“Kontraktor harus memberikan
pemberitahuan secara tertulis kepada perencana tidak lebih dari 10 hari setelah
kejadian yang mengakibatkan keterlambatan jadwal pekerjaan”
Kutipan di atas merupakan suatu penegasan tentang sistem
komunikasi yang dibangun pada ilustrasi kasus. Di sini, komunikasi tertulis
menjadi syarat utama sebuah informasi dapat disampaikan. Perencanaan komunikasi
dalam suatu proyek merupakan sesuatu yang sifatnya kompleks, karena pihak-pihak
yang terlibat didalamnya cukup banyak. Di sini, penulis hanya
mengidentifikasikan apa yang ditampilkan pada ilustrasi kasus.
b.
Distribusi
informasi
Distribusi informasi merupakan proses/alur sebuah
informasi tersampaikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proyek. Dalam
ilustrasi kasus, ditampilkan salah satu alur/proses sebuah informasi
disampaikan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Kontraktor harus memberikan
pemberitahuan secara tertulis kepada perencana…”
Dari kutipan tersebut, terlihat salah satu model distribusi
informasi yang ditetapkan agar menunjang keberlangsungan pelaksanaan proyek,
yaitu segala kejadian yang mengakibatkan keterlambatan pekerjaan diberitahukan
secara tertulis kepada perencana. Di sini, terlihat sebuah model distribusi
infomasi yang jelas.
2.
Permasalahan
Manajemen Komunikasi
Permasalahan dalam manajemen komunikasi proyek merupakan
fenomena yang rentan terjadi. Adanya kenyataan demikian disebabkan oleh banyak
faktor, baik karena terjadinya miskomunikasi antara stakeholder, maupun karena
kelalaian salah satu pihak dalam menyebarkan informasi.
Dalam ilustrasi kasus, masalah manajemen komunikasi
merupakan masalah yang menyebabkan keterlambatan pelaksanaan proyek. Berbagai
masalah tersebut muncul karena miskomunikasi antara stakeholder dan kelalaian
pihak-pihak tertentu dalam menyampaikan informasi.
a.
Miskomunikasi
antara stakeholder
Permasalahan manajemen komunikasi secara tersurat
ditampilkan dalam ilustrasi kasus. Permasalahan yang dimaksud mencakup dua hal,
yaitu permasalahan komunikasi tertulis dan komunikasi komunikasi lisan. Dalam
ilustrasi kasus, permasalahan miskomunikasi ditampilkan pada kutipan berikut:
“Sebuah
kebakaran terjadi dan kontraktor tidak menginformasikan hal ini kepada owner. Sedangkan perencana segera ke
lapangan setelah kejadian kebakaran dan menginformasikan kepada owner. Sub kontraktor pengecatan
memberikan pernyataan bahwa sub kontraktor elektrikal yang mengakibatkan
kebakaran yaitu konsleting yang terjadi menimbulkan percikan api dan menyambar
tiner cat sehingga timbul kebakaran sedangkan sub kontraktor elektrikal
memberikan pernyataan bahwa sub kontraktor pengecatanlah yang mengakibatkan
kebakaran yaitu tiner cat jatuh dan mengenai kabel sehingga terjadi konsleting
dan terbakar.”
Berdasarkan
kutipan ilustrasi di atas, penulis akan membedah kasus miskomunikasi antara
stakeholder menjadi dua hal:
·
Miskomunikasi
antara kontraktor-perencana-owner
Dalam suatu
perjanjian kontrak, perihal pola komunikasi antara stakeholder telah
ditetapkan, dan lebih spesifik dalam perjanjian tersebut, disebutkan perihal
kejadiannya, yaitu kejadian yang mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan
proyek. Adanya sebuah perjanjian kontrak terkait manajemen komunikasi merupakan
acuan dasar terhadap segala bentuk komunikasi di lapangan. Batasan tentang
acuan dasar tersebut bukan berarti suatu hal yang mutlak diterapkan di
lapangan. Fenomena kebakaran di lokasi proyek patut untuk ditelaah dari sudut
pandang manajemen komunikasi. Kejadian kebakaran tersebut merupakan kejadian
yang mengakibatkan terjadinya keterlambatan pelaksanaan proyek. Hal ini secara
tersurat disampaikan dalam ilustrasi. Apabila runutan kejadian ini ditelaah dari
sudut pandang perjanjian kontrak, maka idealnya terjadinya kejadian kebakaran
ini disampaikan oleh kontraktor secara tertulis kepada perencana. Hal demikian
tidak dilakukan oleh kontraktor. Dalam konteks ini, penulis melihat dua hal
penting yang mendasari kontraktor tidak melakukan komunikasi tertulis tentang
kejadian kebakaran ini. Pertama,
kehadiran perencana di lapangan ketika terjadinya kebakaran. Kontraktor tidak
melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada perencana, karena perencana
telah mengetahui terjadinya kebakaran tersebut. Secara teknis, apa yang
dilakukan oleh kontraktor dapat dikatakan sebagai sebuah kesalahan. Hal ini
didasari pada perjanjian kontrak yang menyebutkan perihal sistem komunikasi
apabila terjadi kejadian di luar perkiraan di lapangan. Dengan demikian,
kontraktor bertanggung jawab penuh terhadap keterlambatan yang diakibatkan oleh
kebakaran tersebut. Secara non teknis, keterlambatan yang diakibatkan oleh
kebakaran tersebut menjadi tanggung jawab owner dan kontraktor, karena dalam
perjanjian kontrak, apabila terjadi kejadian yang menyebabkan keterlambatan
proyek, proses komunikasinya berupa kontraktor-perencana-owner. Dalam ilustrasi
kasus, disampaikan bahwa perencana yang telah mengetahui terjadinya kebakaran
tersebut langsung memberitahukannya kepada owner. Dalam ilustrasi, tidak
disebutkan apakah owner segera menindaklanjuti atau tidak, namun karena
terjadinya keterlambatan proyek mengarahkan penulis pada kesimpulan, bahwa
owner tidak menindaklanjuti kejadian kebakaran di lapangan. Kedua, kelalaian kontraktor untuk
memenuhi perjanjian kontrak. Jika hal tersebut yang terjadi, maka kontraktor
bertanggung jawab penuh terhadap keterlambatan pelaksanaan proyek.
·
Miskomunikasi
antarsubkontraktor
Kejadian lain
yang mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan proyek adalah kurang terjalinnya
komunikasi yang baik diantara subkontraktor. Pendapat ini didasari pada kutipan
ilustrasi. Permasalahan manajemen komunikasi pada ilustrasi kasus tersebut
merupakan permasalahan yang kompleks. Kurang terjalinnya komunikasi yang baik
antarsubkontrakor disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya lingkungan
pekerjaan yang tidak kondusif, pola komunikasi yang tidak diberi batasan, pola
kepemimpinan yang buruk, dan keengganan setiap subkontraktor untuk berkomunikasi
apabila terjadi tumpang tindih kepentingan (pelaksanaan pekerjaan) di lapangan.
Dengan demikian, munculnya sikap saling menyalahkan ketika terjadinya kejadian seperti kebakaran
tidak dapat dihindari.
b.
Kelalaian
Kelalalain
merupakan human error. Kelalaian
menjadi salah satu penyebab terjadinya keterlambatan pelaksanaan proyek. Dalam
ilustrasi, permasalahan kelalaian ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Operator Backhoe
mengetahui bahwa alat berat backhoe
harusnya diperbaiki, tetapi bakhoe
tetap digunakan, suatu saat shovel
dari backhoe terlepas
dan harus diperbaiki. Ternyata sparepart
harus didatangkan dari luar kota”
Penyebab kelalaian dalam pelaksanaan proyek disebabkan
oleh banyak hal, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Apapun yang
menjadi penyebab adanya kelalaian, hal tersebut pada hakikatnya memberikan
dampak buruk terhadap pelaksanaan proyek. Komunikasi merupakan aspek penting
dalam menunjang pelaksanaan proyek. Keengganan setiap pelaku proyek dalam
mengkomunikasikan setiap permasalahan karena kelalaian menjadi tanggung jawab
penuh pihak yang melalaikan tanggung jawabnya. Di sini, operator backhoe
bertanggung jawab penuh atas kelalaian yang dilakukannya terhadap subkontrakor
di bidang alat berat. Subkontraktor alat berat bertanggung jawab terhadap
kontraktor. Demikian pula seterusnya, sampai pada tingkatan owner.
3.7
Analisis Masalah Kepemimpinan
Permasalahan dalam kepemimpinan organisasi konstruksi
merupakan isu sensitif yang mampu mempengaruhi keberlanjutan sebuah proyek
konstruksi. Masalah dalam kepemimpinan mengindikasikan terjadinya
ketidakmampuan seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan bekerja secara
maksimal. Merunut pada ilustrasi kasus, masalah kepemimpinan ini menjadi salah
satu faktor penting keterlambatan
pelaksanaan proyek.
Dalam ilustrasi kasus, masalah kepemimpinan tidak
ditampilkan secara tersurat, sehingga agak sulit untuk menganalisis secara
detail perihal permasalahan kepemimpinan. Satu kutipan pada ilustrasi yang
kiranya mewakili terjadinya permasalahan kepemimpinan dalam ilustrasi kasus
adalah:
“Konflik antara Kontraktor dan Manajemen Konstruksi”
Kutipan tersebut mau menunjukkan terjadinya
ketidakharmonisan manajemen dengan kontraktor. Relevansi antara konflik dan
masalah kepemimpinan dapat dianalisis berdasarkan batasan tentang kepemimpinan
(leadership).
Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses antarhubungan
atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi. Penulis menggarisbawahi
kata situasi yang terdapat pada
batasan tentang kepemimpinan, yang menjadi acuan dalam menganalisis
permasalahan kepemimpinan.
Mengaitkan kata situasi dengan ilustrasi kasus mengantar
aras berpikir penulis untuk melihat masalah kepemimpinan dalam ilustrasi kasus
sebagai permasalahan kronis. Situasi yang melingkupi seluruh pelaksanaan proyek
konstruksi dalam ilustrasi menampilkan situasi konflik yang melibatkan banyak pihak. Konflik yang terjadi tidak
hanya antara kontraktor dan manajemen konstruksi, tetapi antara pihak-pihak
lain yang secara hirarki organisatoris berada di bawah kontraktor
(subkontraktor, operator, dan sebagainya).
Dengan kata lain, situasi konflik merupakan indikator
utama untuk melihat permasalahan kepemimpinan dalam pelaksanaan kepemimpinan
dalam ilustrasi tersebut.
Konflik yang terjadi dalam kapasitas besar (terjadi pada
ilustrasi kasus) menunjukkan terjadinya permasalahan kepemimpinan yang menaungi
pelaksanaan proyek konstruksi tersebut. Penulis tidak dapat menganalisis lebih
detail perihal permasalahan kepemimpinan tersebut, karena keterbatasan
informasi yang ditampilkan pada ilustrasi kasus. Akan tetapi, esensi dari
permasalahan itu sendiri dapat diidentifikasi dengan merunut pada batasan ideal
tentang kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai kemampuan individu untuk mempengaruhi,
memotivasi, dan memungkinkan orang-orang memberikan kontribusi terhadap
keefektifan dan kesuksesan sebuah proses; tidak terjadi. Kontribusi pihak-pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan proyek tidak efektif dengan mengindikasikan
keterlambatan pelaksanaan, konflik komunikasi, dan ketidakharmonisan hubungan
antara kontraktor dan manajemen konstruksi. Dengan demikian dapat disimpulkan,
munculnya permasalahan kepemimpinan memberikan dampak signifikan terhadap
konflik-konflik yang terjadi pada pelaksanaan proyek konstruksi
dalam ilustrasi kasus.
terimaksih.
BalasHapus